Penulis : Charly B. Ponomban Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi Manado
Dalam beberapa waktu terakhir, wacana mengenai apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu dibubarkan atau dibenahi kembali mencuat menjadi perbincangan publik. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif bukanlah isu baru. Tingginya kasus korupsi, rendahnya kualitas legislasi, hingga sikap DPR yang sering kali dianggap jauh dari aspirasi rakyat menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah DPR masih layak disebut pilar demokrasi, atau justru telah berubah menjadi beban demokrasi?
_DPR sebagai Pilar Demokrasi_
Secara teoritis, DPR merupakan bagian esensial dari sistem demokrasi perwakilan. Lembaga ini memegang tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi tersebut berperan sebagai penopang agar kekuasaan eksekutif tidak berjalan tanpa kendali. Tanpa adanya parlemen, sistem politik akan kehilangan mekanisme checks and balances yang menjadi ruh demokrasi modern.
Selain itu, DPR menjadi kanal formal bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Dalam negara sebesar Indonesia, mustahil setiap warga terlibat langsung dalam pengambilan keputusan politik. Representasi melalui parlemen adalah cara paling realistis untuk menjaga prinsip kedaulatan rakyat.
_DPR sebagai Beban Demokrasi_
Di sisi lain, citra DPR di mata publik terus mengalami kemerosotan. Hasil berbagai survei menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR kerap berada di posisi paling rendah dibandingkan lembaga negara lainnya. Beberapa faktor yang melatarbelakanginya antara lain:
1. Maraknya kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang menjerat anggota DPR.
2. Lemahnya kualitas legislasi, dengan banyak produk hukum yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.
3. Minimnya keterhubungan dengan publik, di mana wakil rakyat sering kali lebih mengutamakan kepentingan partai dibanding suara konstituen.
4. Tingginya biaya politik yang membuat DPR rentan dikuasai kepentingan oligarki.
Alih-alih menjadi jembatan rakyat, DPR sering dipersepsikan sebagai arena negosiasi elit politik. Dalam kondisi demikian, keberadaan DPR justru membebani demokrasi karena tidak berfungsi sesuai amanat konstitusi.
Membubarkan atau Membenahi?
Lalu, apakah solusinya membubarkan DPR? Secara normatif, menghapus lembaga legislatif akan menciptakan kekosongan representasi politik dan membuka ruang bagi praktik otoritarianisme. Demokrasi tanpa parlemen sulit dibayangkan, sebab fungsi legislasi dan pengawasan tidak dapat sepenuhnya digantikan mekanisme lain.
Namun, mempertahankan DPR dalam bentuknya yang sekarang juga tidak menyelesaikan persoalan. Jalan tengah yang lebih rasional adalah melakukan reformasi mendasar. Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:
– Meningkatkan transparansi dalam proses legislasi dan anggaran.
– Mendorong digitalisasi parlemen agar publik dapat mengawasi langsung kinerja wakilnya.
– Membenahi sistem rekrutmen politik untuk mencegah dominasi oligarki dan memberi ruang bagi tokoh independen.
– Memperkuat mekanisme recall agar rakyat bisa menarik mandat dari wakil yang tidak bekerja.
DPR adalah sebuah paradoks: di satu sisi merupakan pilar penting demokrasi, namun di sisi lain berpotensi menjadi beban yang merusak kepercayaan rakyat. Karena itu, perdebatan “bubarkan atau benahi” seharusnya tidak dilihat sebagai sekadar isu emosional, melainkan refleksi atas kebutuhan mendesak untuk menghadirkan demokrasi yang benar-benar bekerja bagi rakyat.
Dengan demikian, pilihan paling rasional bukanlah menghapus DPR, melainkan melakukan reformasi menyeluruh agar lembaga ini kembali pada jati dirinya: benar-benar menjadi rumah rakyat, bukan sekadar panggung elit politik.