Manado, 29 Oktober 2025 – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado mengonfirmasi bahwa seorang pegawai Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Negeri Manado (Unima) dengan inisial CP telah resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi di area kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FIS-H) Unima pada 22 Agustus 2024. Korban dalam kasus ini adalah RP, mahasiswa Unima.
Proses penanganan perkara telah memasuki tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/147/VIII/2025/Reskrim tanggal 22 Agustus 2025. Selanjutnya, berdasarkan SP2HP No: B/393/X/2025/Reskrim tertanggal 29 Oktober 2025, kasus ini kini berada pada tahap pra-penuntutan (Tahap I) setelah berkas perkara diserahkan ke Kejaksaan Negeri Minahasa pada 19 September 2025.
Kuasa hukum korban dari LBH Manado, Pascal Wilmar Toloh, menyampaikan bahwa pihaknya menilai penanganan kasus ini berjalan lambat dan berpotensi mengabaikan hak-hak korban.
“Kami menilai penanganan kasus ini terkesan lambat (undue delay) dan berpotensi mengabaikan hak-hak korban atas keadilan dan kepastian hukum. Korban kekerasan seksual berhak atas proses hukum yang cepat, profesional, dan berpihak pada penyintas. Namun hingga kini, proses hukum sudah berlangsung lebih dari setahun sejak laporan pertama korban pada September 2024,” ujar Pascal.
Lebih lanjut, LBH Manado menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menekankan prinsip penghormatan terhadap martabat manusia, non-diskriminasi, serta pendekatan berperspektif korban (victim-oriented) sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
“Proses hukum yang lamban justru bertentangan dengan prinsip fair trial dan due process of law, yang mengharuskan adanya keberpihakan terhadap korban sebagai bentuk nyata perlindungan hak asasi manusia,” tambah Pascal.
LBH Manado juga mendesak pihak penyidik dan penuntut umum untuk mempercepat proses hukum serta memastikan setiap pemeriksaan terhadap korban dilakukan dengan menjunjung tinggi martabat dan tanpa reviktimisasi, sebagaimana diamanatkan dalam UU TPKS dan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
“Kami mendesak aparat penegak hukum untuk menjamin proses hukum yang transparan, berkeadilan, dan berpihak pada penyintas. Penegakan hukum dalam kasus ini harus menjadi contoh nyata komitmen negara melindungi korban kekerasan seksual,” tutup Pascal Wilmar Toloh, Pengacara Publik LBH Manado.












