Penulis : Geral Manembu
Peristiwa yang terjadi pada 1 September 2025 di depan Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Utara layak dicatat sebagai catatan kelam demokrasi lokal. Aksi masyarakat sipil yang datang dengan niat menyampaikan aspirasi justru dihadang oleh ormas adat. Sebuah ironi, mengingat substansi tuntutan yang dibawa adalah pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Pertanyaan mendasar pun muncul: bagaimana mungkin organisasi yang mengatasnamakan masyarakat adat justru menjadi penghalang bagi perjuangan masyarakat adat itu sendiri? Jika aspirasi yang berkaitan langsung dengan eksistensi mereka ditolak, maka keabsahan moral organisasi tersebut patut dipertanyakan.
Situasi kian memprihatinkan ketika sejumlah anggota ormas terlihat membawa senjata tajam dan melakukan pelemparan ke arah massa aksi. Perilaku semacam itu tidak bisa dipandang sebagai upaya menjaga ketertiban, melainkan provokasi yang berpotensi memicu konflik horizontal. Tindakan ini tidak hanya mencederai etika berdemokrasi, tetapi juga menodai martabat adat yang selama ini dihormati sebagai ruang kearifan dan penyelesaian damai.
Lebih mengecewakan lagi adalah sikap aparat kepolisian. Alih-alih tampil sebagai pengayom yang netral dan melindungi hak warga untuk menyampaikan pendapat, aparat justru tampak berdiri di belakang ormas adat. Gambaran ini menimbulkan kesan bahwa negara memberi ruang bagi ormas untuk menghadang aspirasi rakyat. Jika demikian, maka ini bukan sekadar kelalaian, melainkan dapat ditafsirkan sebagai pembiaran bahkan rekayasa untuk menciptakan benturan sipil melawan sipil.
Pola semacam ini menunjukkan adanya strategi politik yang berbahaya. Aparat seolah mencuci tangan dengan membiarkan rakyat berhadap-hadapan dengan rakyat, sementara mereka berlindung di balik barisan ormas. Padahal, tanggung jawab konstitusional aparat adalah memastikan setiap aspirasi publik tersampaikan secara damai dan bermartabat.
Kejadian ini menjadi bukti nyata bahwa demokrasi kita sedang dilemahkan. Jika ruang publik untuk menyuarakan kepentingan bersama semakin disempitkan, jika rakyat diintimidasi bahkan diancam dengan senjata tajam, sementara aparat memilih berdiam diri, maka tidak berlebihan jika kita menyimpulkan: demokrasi sedang dikebiri, tepat di depan mata kita sendiri.












