Oleh:Radinal Muhdar, BSN., MM-Sekretaris Umum HMI Badko Sulut-Go-Wakil Ketua I Forum Alumni BEM Sulut
Setiap bangsa memiliki mata air sejarah yang menjadi sumber kekuatannya. Bagi Indonesia, salah satu sumber itu adalah momentum perlawanan yang dipelopori oleh pemuda di berbagai periode sejarah. Mulai dari lahirnya kesadaran kebangsaan awal abad 20, peristiwa Sumpah Pemuda 1928, perjuangan bersenjata dalam merebut kemerdekaan, hingga gerakan reformasi 1998 yang meruntuhkan rezim otoritarian, pemuda selalu hadir sebagai garda paling depan dalam mengubah arah sejarah. Hari ini, Hari Pahlawan kembali mengingatkan kita bahwa semangat perjuangan bukan sekedar catatan buku sejarah, tetapi sebuah nilai hidup yang harus diteruskan dari generasi ke generasi. Pertanyaannya, apakah pemuda hari ini masih memiliki api itu, ataukah api itu mulai padam ditelan gelombang distraksi dan tekanan sosial ekonomi yang melingkupinya.
Sejarah mencatat bahwa dalam setiap fase perubahan penting, pemuda bukan hanya sekedar bagian pasif dari masyarakat, tetapi menjadi motor utama perubahan. Pemuda selalu memiliki ciri khas yang membedakannya dari kelompok usia lain, yaitu keberanian moral, idealisme yang belum terkikis pragmatisme hidup, dan energi untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan baru. Pemuda tidak hanya berperan sebagai pelaksana agenda sosial, tetapi sebagai perumus arah budaya, ideologi, dan politik suatu bangsa. Pada masa kolonial, pemuda menggunakan pendidikan, organisasi-pergerakan, dan diskursus intelektual sebagai arena perlawanan terhadap hegemoni penjajah yang berusaha mengendalikan pikiran dan sikap masyarakat. Para tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan para pendiri pergerakan mahasiswa saat itu membangun ruang refleksi dan perdebatan kritis yang melahirkan kesadaran kebangsaan.
Namun perjuangan pemuda dalam sejarah bukan hanya tentang kekuatan fisik atau keberanian mengangkat senjata, tetapi tentang kemampuan membaca zaman. Pemuda selalu dituntut untuk memahami bentuk penindasan yang sedang bekerja pada zamannya. Pada masa kolonial, penindasan hadir dalam bentuk eksploitasi tenaga dan sumber daya. Pada era Orde Baru, penindasan hadir dalam bentuk kontrol politik, pembungkaman ekspresi, dan sentralisasi kekuasaan. Sedangkan pada era sekarang, penindasan hadir dalam bentuk yang jauh lebih halus, terselubung, dan kadang tidak disadari. Penindasan itu hadir melalui mekanisme ekonomi, budaya konsumsi, arsitektur digital, dan hegemoni media yang memengaruhi cara berpikir, cara merasa, dan cara bertindak masyarakat, terutama generasi muda.
Dalam kerangka ini, pemuda zaman sekarang menghadapi musuh yang sangat berbeda dari pemuda di masa lalu. Musuh itu bukan lagi kolonialis bersenjata atau rezim represif yang menutup ruang bicara, melainkan kapitalisme digital yang bekerja melalui teknologi, pola konsumsi, dan media sosial. Antonio Gramsci menyebut bentuk penindasan semacam ini sebagai hegemoni, yaitu upaya kelompok berkuasa untuk menanamkan cara berpikir tertentu agar masyarakat menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang wajar. Hegemoni bekerja bukan dengan ancaman fisik, tetapi dengan membentuk persepsi tentang realitas. Dalam konteks saat ini, pemuda dipengaruhi untuk mengejar kesuksesan individual, gaya hidup glamor, dan pencitraan sosial sebagai ukuran nilai diri. Hal ini membuat banyak pemuda merasa seolah-olah perjuangan sosial adalah sesuatu yang tidak penting, melelahkan, dan tidak menguntungkan.
Guy Debord dalam gagasan Masyarakat Tontonan (Society of Spectacle) menjelaskan bahwa kehidupan sosial kini berubah menjadi panggung citra. Nilai diri seseorang diukur berdasarkan jumlah pengikut, tampilan visual, popularitas, dan performa identitas. Sebuah perjuangan yang tidak terlihat, dianggap tidak ada. Perbuatan baik yang tidak dipublikasikan dianggap tidak berarti. Aktivisme direduksi menjadi unggahan foto aksi, bukan kerja panjang yang melelahkan dan tidak fotogenik di baliknya. Kondisi ini memberikan pukulan psikologis yang kuat kepada pemuda. Mereka diajakan untuk mengejar keterlihatan, bukan kebermaknaan. Hal ini mengalihkan perhatian mereka dari masalah struktural seperti ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, korupsi politik, hingga penggusuran masyarakat tersingkir.
Tekanan ekonomi memperparah situasi ini. Sistem ekonomi yang bersandar pada kompetisi ketat dan ketidakpastian lapangan kerja memaksa pemuda untuk fokus pada bertahan hidup. Banyak pemuda harus bekerja tanpa ruang refleksi, tanpa kesempatan menyusun sikap politik, dan tanpa dukungan kolektif. Pierre Bourdieu menyebut proses ini sebagai habitus, yaitu pola pikir dan kebiasaan yang dibentuk oleh kondisi sosial dan ekonomi. Habitus yang terbentuk pada generasi pemuda saat ini adalah habitus untuk mengejar keamanan pribadi dan karier individual, bukan memperjuangkan keadilan kolektif. Tekanan keluarga, biaya hidup yang tinggi, akses terbatas terhadap mobilitas sosial, dan polarisasi politik membuat pemuda merasa bahwa gerakan sosial adalah risiko yang terlalu besar untuk ditanggung.
Meskipun demikian, kondisi ini tidak berarti pemuda telah kehilangan seluruh kesempatan untuk menjadi agen perubahan. Teknologi yang sama yang kini dipakai sebagai alat distraksi, juga memiliki potensi sebagai alat perjuangan. Manuel Castells dalam konsep Masyarakat Jaringan (Network Society) menjelaskan bahwa jaringan sosial digital dapat membangun solidaritas dan mobilisasi gerakan politik lintas wilayah dan kelas sosial. Gerakan sosial tidak lagi hanya terjadi di jalan raya atau di ruang rapat organisasi, tetapi juga di ruang digital, dalam bentuk kampanye kesadaran, pertarungan wacana, pembongkaran kejahatan kekuasaan, dan konsolidasi aksi yang berkelanjutan.
Pemuda yang mampu menguasai komunikasi digital, strategi narasi, dan jaringan sosial dapat memimpin gerakan perubahan di tingkat lokal hingga nasional. Pengalaman banyak gerakan global seperti Arab Spring, Black Lives Matter, Hong Kong Protest, hingga gerakan lingkungan hidup di Indonesia menunjukkan bahwa mobilisasi digital dapat menjadi pemicu transformasi politik. Perubahan tidak lahir dari kesadaran individual semata, tetapi dari kemampuan menghubungkan banyak kesadaran menjadi kekuatan kolektif. Hal ini yang perlu dibangun kembali dalam diri pemuda Indonesia.
Menjadi pahlawan zaman sekarang bukan berarti harus mengangkat senjata atau berperang secara fisik. Pahlawan zaman sekarang adalah mereka yang bersedia mempertahankan integritas, meskipun menghadapi godaan kenyamanan. Mereka yang berani mengatakan kebenaran di tengah kebisuan. Mereka yang berani membela yang lemah di tengah ketidakpedulian. Mereka yang tidak menjual harga diri kepada kekuasaan atau pasar. Kepahlawanan hari ini adalah perjuangan untuk menjaga kepekaan kemanusiaan di tengah budaya yang mendorong individualisme ekstrem.
Pemuda dapat menjadi pahlawan dalam berbagai medan dan profesi. Di kampus, pemuda dapat menjadi penggerak literasi kritis, penelitian sosial, dan ruang diskusi yang membangun kesadaran bersama. Di komunitas, pemuda dapat membangun jaringan solidaritas untuk membantu masyarakat tertindas. Dalam dunia kerja, pemuda dapat menjaga profesionalitas tanpa mengorbankan prinsip. Dalam lingkungan digital, pemuda dapat menjadi penyebar kebenaran, bukan penguat kebohongan. Kepahlawanan tidak harus besar dan heroik. Kepahlawanan adalah keberanian menjalankan kebenaran secara konsisten.
Kita tidak boleh melupakan bahwa perjuangan pemuda adalah perjuangan jangka panjang. Perubahan sosial tidak terjadi dalam satu malam. Perubahan adalah hasil dari rangkaian keberanian-keberanian kecil yang konsisten, terorganisir, dan didorong oleh nilai yang kuat. Pemuda harus mengorganisir diri, membangun komunitas yang mendukung, membentuk ruang dialog yang aman, dan melahirkan agenda gerakan yang jelas. Tidak ada perubahan yang lahir dari individu yang berdiri sendiri. Perubahan lahir dari kolektivitas yang terarah.
Hari Pahlawan bukan hanya peringatan sejarah. Hari Pahlawan adalah cermin untuk menilai apakah kita masih memegang nilai perjuangan itu. Apakah kita masih mampu merasakan penderitaan rakyat. Apakah kita masih berani melawan ketidakadilan, atau sudah menyerah kepada kenyamanan palsu. Api perjuangan itu tidak padam. Ia sedang menunggu generasi yang bersedia menyalakannya kembali. Pemuda tidak ditakdirkan menjadi penonton sejarah. Pemuda ditakdirkan menjadi penulisnya. Tugas kita bukan mengulang masa lalu, tetapi melanjutkannya dalam bentuk baru yang sesuai zaman.
Kini saatnya pemuda berdiri kembali. Mengembalikan jati diri sebagai penjaga keadilan sosial. Membebaskan diri dari ketergantungan pada validasi digital. Menguatkan solidaritas di atas perbedaan. Membangun keberanian moral di atas kenyamanan pribadi. Menghidupkan kembali nilai kepahlawanan sebagai etos hidup, bukan sekedar seremoni tahunan. Kita tidak sedang kalah. Kita sedang diuji. Bila pemuda mampu melewati ujian ini, maka sejarah Indonesia akan kembali bergerak ke arah yang lebih adil, manusiawi, dan bermartabat.
Pahlawan bukan mereka yang tidak pernah takut. Pahlawan adalah mereka yang memilih bertindak meski takut. Saat ini, Indonesia tidak menunggu pemuda yang sempurna. Indonesia menunggu pemuda yang berani. Pemuda yang berpihak pada rakyat. Pemuda yang menjaga nilai kemanusiaan. Pemuda yang tidak tunduk pada hegemoni. Pemuda yang menyalakan api.
Api itu sekarang ada di tanganmu. Jangan biarkan ia padam.
Selamat Hari Pahlawan untuk seluruh pemuda pelopor pembangunan dan pejuang perubahan konstruktif bangsa Indonesia.












