Manado — Dari desa kecil di Kakas, Minahasa, suara seorang muda menggema hingga ke ruang-ruang intelektual Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado. Namanya Gloria Lakoy, mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi yang tak hanya menguasai teori, tapi menjadikannya alat perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan, terutama bagi perempuan di Sulawesi Utara.
Gloria tumbuh dalam lingkungan yang jauh dari sorotan media nasional, namun justru di sanalah ia menempa keberanian dan kepedulian sosialnya. Lewat tulisan-tulisan tajam, kritis, dan empatik, ia mengangkat isu-isu yang kerap luput dari perhatian publik—mulai dari stereotip budaya terhadap perempuan Minahasa hingga kekerasan dalam rumah tangga.
“Lewat tulisan, saya ingin menyuarakan realita yang sering disembunyikan atau dianggap biasa. Ini bukan hanya tentang perempuan, tapi tentang keadilan,” ungkap Gloria, dikutip dari akun @Gensulut.
Tak hanya aktif menulis, Gloria juga terlibat dalam berbagai forum diskusi, komunitas literasi, serta organisasi yang fokus pada isu gender dan komunikasi. Ia dikenal sebagai sosok yang kritis, berani menyampaikan gagasan, namun tetap membumi dan mudah didekati.
Baginya, setiap kata memiliki kekuatan. Ia memilih menggunakan kekuatan itu untuk menyuarakan suara-suara yang selama ini terpinggirkan. Visi yang ia bawa jelas: membangkitkan kesadaran, menentang ketidakadilan, dan mendorong perubahan sosial yang lebih adil dan setara.
Di usianya yang masih muda, Gloria Lakoy membuktikan bahwa kampus bukan sekadar tempat belajar teori, tapi bisa menjadi titik awal gerakan perubahan. Ia menjadi simbol harapan bahwa generasi muda bukan hanya mengejar gelar, tapi juga mampu menjadi agen perubahan sejati.